Dilema Hati dan Akal

It’s a payday! Yeay. Hari gajian akhirnya datang. Rasanya begitu membahagiakan ketika menerima kompensasi jerih payah kita selama sebulan. Dalam perjalanan pulang kerumah, tiba tiba saja kamu melihat seorang Ayah paruh baya dengan istri dan 2 orang anaknya. Mereka duduk beralaskan kardus di pinggir jalan, disamping sebuah gerobak yang entah isinya apa. Hatimu berkecamuk melihat hal ini. Pakaian mereka yang lusuh semakin membuatmu tersentuh, dengan segera kamu keluarkan dompet dan menyerahkan uang 100 ribu rupiah kepada mereka. 

Kesedihan yang melanda hatimu pun reda. Hari ini kamu telah berbuat baik. Namun, tiba tiba saja, akalmu yang daritadi tertidur kini sadar. Tak jauh dari situ kamu temui lagi kondisi yang serupa. Manusia gerobak! Ah, kamu lupa kalau ini bulan puasa. Mereka hanya modus, bahkan seringkali rumah mereka mewah, atau ada aktor intelektual dibalik fenomena ini. Kemana mereka ketika bulan Ramadhan pergi?

Alih alih menyelesaikan permasalahan kemiskinan, kamu semestinya tahu bahwa kamu bisa melakukannya lebih baik. Menyumbang langsung memang tidak merepotkan, tak perlu menguras habis energimu. Hatimu membela dengan jurus andalan “bodo amat, yang penting niat baik dan ikhlas“. Padahal, akalmu menolaknya. Kita sangat kreatif dalam membangun bisnis, namun tidak untuk membuat kegiatan donasi.